Jangan Sampai Perpisahan Memaksamu untuk Sadar

Ilustrasi rumah berantakan
Sumber: Flickr / abbamouse

“Chiko, kenapa rumahnya belum diberesin kayak kapal pecah gini? Mama sudah minta tolong tapi kenapa kamu cuekin saja?” Ujar Mbok Iyem kepada anaknya sesaat setelah membuka pintu rumah. Ia baru saja pulang setelah seharian berdagang di pasar kota.

Chiko, anaknya Mbok Iyem, saat itu sedang asik rebahan di kursi panjang ruang tamu sambil bermain game online di handphonenya. Perhatiannya teralihkan oleh seruan ibunya, lalu refleks sesaat kemudian matanya jelalatan menuju seisi rumahnya.

Terlihat piring-piring kotor bekas sarapan masih saja tertempel di atas meja makan. Debu dan pasir yang entah datang darimana berserakan di lantai rumah berwarna putih. Setumpuk pakaian pun sedang menganggur di dalam keranjang, yang telah bertekstur kusut seolah-olah merintih kebauan dan meminta untuk segera dicuci.

“Kamu yakin, mau menyambut Mama yang udah cape-cape jualan seharian dengan kapal pecah macem ni?” sambung Mbok Iyem.

Sesaat setelah itu, tanpa berkata-kata Chiko langsung saja kembali menatap layar handphonenya seolah-olah tidak ada kejadian aneh apapun barusan. Sementara, Mbok Iyem dengan perasaan kesal dan terpaksa langsung menuju ke titik-titik keberantakan tersebut untuk merapikannya.

Sudah seharian lelah berdagang di pasar, ehh sampe rumah harus merapikan kapal pecah lagi, pikirnya.

*************************

Sudah empat tahun terakhir ini, Mbok Iyem menjadi pedagang di pasar kota. Tepatnya, sejak suaminya meninggal lima tahun lalu akibat kecelakaan kerja di pabriknya bekerja. Sebelum kejadian itu, Mbok Iyem hanyalah ibu rumah tangga yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari.

Mbok Iyem menjadi single parent untuk anak lelaki satu-satunya, yaitu Chiko. Karena tidak ada lagi yang menafkahi keluarga kecilnya, Mbok Iyem pun harus memutar otak untuk membuat dapur tetap berkebul dan lampu rumah tetap menyala.

Ia memanfaatkan sebagian uang pesangon dan santunan dari pabrik tempat suaminya bekerja untuk membuka kios di pasar kota. Syukurnya, uang itu lebih dari cukup bagi ia untuk membuka kios di pasar yang menjual daging ayam beserta olahannya. Dagangannya pun selalu habis terjual karena ramai dikunjungi. Ia pun sangat mengandalkan kualitas dan kejujuran, sehingga reputasinya pun berada di titik puncaknya saat ini dan banyak yang senang dengannya.

Sebaliknya, Chiko memanfaatkan uang pesangon tersebut dengan membeli handphone spek tinggi terbaru dan satu set komputer gaming. Yaa, tujuannya apa lagi kalau bukan untuk bermain game online seharian.

Sejak itulah, hidupnya telah bertransformasi menjadi seorang gamers sejati. Sepanjang hari ia habiskan untuk bermain game baik di komputer ataupun handphone. Ia jarang berolahraga dan sering telat makan.

Apalagi sejak ia wisuda sekitar dua tahun lalu. Ia berpikir dengan tamatnya perkuliahan memberikannya unlimited time (waktu yang tak terbatas) untuk bermain game. Lebih lapang dibandingkan saat ia masih sekolah atau kuliah dahulu.

Padahal semasa kuliah ia cukup aktif berorganisasi sembari mempertahankan prestasi akademiknya. Nilai IPK nya juga termasuk cumlaude dengan segudang prestasi di berbagai perlombaan akademik.

Namun semenjak mengenal game online, ia menjadi pemalas seperti saat ini. Parahnya, kepemalasannya sudah berlangsung selama dua tahun sejak wisuda hingga saat ini.

******

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah yang harusnya dilakukan Chiko, Mbok Iyem menuju kembali ke ruang tamu. Ia tidak mendapati Chiko di ruang tamu lagi, melainkan sudah berpindah ke area teras.

Chiko masih terlihat asik bermain game online dengan handphonenya. Tercium juga bau asap rokok dan asbak yang sudah penuh dengan abu. Sambil memainkan handphone dengan posisi horisontal, jari telunjuk dan tengahnya mengapit sebatang rokok yang masih menyala. Kali ini, handphone nya tercolok kabel pengisian daya yang terhubung langsung dengan power bank.

Sesekali, ia tak sengaja mengumpat dengan kata-kata hinaan dan nama hewan. Terutama di saat karakter yang ia mainkan dibunuh oleh musuh.

“Ahh... Sialan. Kenapa sih dapet tim yang beban gini sihh!”

“Ya ampun, Chiko. Kok kamu sekarang kasar gini sih? Lagian kamu dah berjam-jam main ginian nggak sakit apa matamu?”

“Duhh gara-gara mama dateng jadinya aku nggak fokus! Dasar penganggu sialan!”

“Ya ampun nak, hati-hati dengan omonganmu. Jangan cuman karena game saja bisa membuatmu durhaka”

“Ya sudah terserah mama, yang penting jangan ganggu aku lagi aja.”

Sesaat suasana menjadi hening kembali. Lalu, Mbok Iyem memberikan suatu informasi bagus buat Chiko

“Chiko, tadi mama ketemu Bu Solehah dosenmu pas masih kuliah dulu. Bu Solehah ngasihin flyer ini buat kamu. Pas sekali untuk fresh graduate macem kamu. Dicoba dulu aja, siapa tau rejeki.”

Kebetulan game nya baru saja selesai, Chiko langsung mengambil dan membaca seisi flyer tersebut. Suatu pabrik terbesar di daerahnya sedang membutuhkan banyak karyawan lulusan baru untuk banyak lowongan pekerjaan.

“Aduh, mama tau sendiri kan yang masuk ke pabrik itu paling kalo nggak orang dalam ya orang-orang high achiever sekelas mahasiswa berprestasi. Chiko kan nggak masuk kriteria itu bu!”

“Dicoba dulu aja, nggak ada salahnya. Toh kata Bu Solehah, 60% pegawai di sana itu lulusan dari jurusan dan kampusmu lohh. Masa’ semuanya pakai orang dalam?”

“Lagian, reputasi para alumni kampusmu sangat bagus di perusahaan tersebut. Mereka pasti percaya kamu itu orang yang tepat. Lihat aja anaknya Bu Rini. Kedua orang tuanya sama seperti ibu, cuman pedagang sarapan. Tapi dia bisa aja punya jabatan di pabrik itu setelah tiga tahun kerja.”

Seolah tidak percaya, Chiko malahan berdiri setelah mendengar omongan tersebut. Wajahnya memerah dan tangannya terkepal tanda emosinya sedang memuncak. Matanya juga melotot tajam ke arah ibunya. Ia menyangka bahwa kata-kata motivasi ibunya tersebut seolah-olah menyindir dan membandingkan dirinya dengan anak tetangganya.

“Kalau ibu cuman ngebangga-banggain dia, adopsi aja dia jadi anak Ibu! Aku udah capek tau nggak, selalu dibanding-bandingin begitu. Bahkan sekarang ibu aja cuman jualan di pasar aja kerjanya, nggak seperti ibunya temen-temen kuliahku yang banyak jadi pejabat!”

“Ya sudahlah bu. Lagian ini juga hidupku. Aku juga berhak untuk bahagia. Daripada aku ngelakuin hal yang enggak-enggak di luar sana, masih mending aku cuman main game kan! Aku pun sudah banyak teman-teman keren dan kaya dari game ini. Mereka aja selalu nerima aku begini apa adanya dibandingin Ibu yang bukan siapa-siapa!”

Chiko langsung mengenakan sendal dan meninggalkan rumah entah kemana. Ia juga membanting dengan keras pagar rumah hingga rusak salah satu grendelnya. Meninggalkan ibunya sendirian duduk termenung di teras rumah. Matanya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak akibat menahan tangis. Tetapi, Mbok Iyem berpikir ia harus tetap kuat. Bagaimanapun, hidupnya dan anaknya harus tetap berjalan.

Mbok Iyem bahkan tidak bisa membuka mulut sekecil pun. Maklum, rasa syok dari kejadian sebelumnya masih sangat ia rasakan hingga tiada mampu berucap-ucap lagi.

&&&

Sore itu kebetulan ternyata Chiko sudah ada janji dengan rekan seperjuangannya sesama gamers di suatu warnet gaming. Ia dan rekannya akan mengikuti turnamen games online tembak-tembakan yang akan diadakan pada malam itu. Setelah turnamen, mereka rencananya akan membeli paket begadang dan bermalam di warnet tersebut untuk mengasah kemampuan gaming mereka.

Turnamen diadakan dua hari. Hari pertama yaitu babak penyisihan dan hari keduanya babak grand final.

Dengan memesan ojek daring, ia menuju ke warnet tersebut dari rumahnya yang cukup jauh. Saat sampai di warnet, ia sudah menemui keempat rekannya yang masing-masing membawa kendaraan pribadi.

“Yoo wassup gaess, akhirnya malam ini kita turney gess.”

“Betul sekali gaess, kita ini pro player pasti menang lahh. Liat aja tuh, musuh kita kebanyakan bocil semua. Mereka amatiran dibandingin kita yang main tiap hari ini lah!”

Singkat cerita, tim Chiko berhasil lolos ke tahap grand final. Sesuai rencana awal, mereka akan menginap di warnet semalaman untuk latihan memasuki babak berikutnya.

&&&&

Ilustrasi kafe internet
Sumber: Flickr / Tom Thai

Bunyi denting detik jarum jam yang berputar semakin keras, tanda malam semakin larut. Suasana dinginnya AC semakin menusuk kulit. Rasa kantuk mulai menyerang satu per satu pengunjung warnet. Akan tetapi, rasa kantuk tersebut dengan mudahnya dikalahkan oleh secangkir kopi yang dipesan oleh hampir semua pengunjung warnet. Sang kantuk mulai bosan menyerang para pemain, sebab jumlah pengunjung semakin banyak yang datang. Menandakan bahwa ia dengan begitu mudahnya terabaikan. Padahal kegiatan turnamen telah selesai sejak jam delapan malam tadi, tepat tiga jam yang lalu.

Maklum, malam itu ialah malam minggu. Malamnya muda mudi untuk pacaran. Tetapi buat yang masih belum berpasangan, lebih memilih warnet sebagai tempat melampiaskan kesendiriannya. Tidak hanya pengunjung, perlahan awan hujan menutupi langit di atas warnet. Seakan-akan ingin ikut berpartisipasi di malam minggu yang gemerlap, awan pun memberikan tetesan airnya untuk membasahi bumi. Semakin lama ia semakin senang, sehingga ditambahnya jumlah tetesan yang akhirnya secara komplit menghujani bumi.

Semakin larut malam permainan semakin seru. Semua pemain yang diantaranya bersatu dalam tim sibuk dengan “pertempuran” masing-masing. Tak terkecuali Chiko dan timnya. Semakin sering menang, mereka menyangka bahwa persiapan untuk hari esok semakin baik. Sehingga menambah kepercayaan diri mereka.

Namun saat di tengah puncak kepercayaan dirinya, perhatian Chiko tiba-tiba dipecahkan oleh suatu telepon dari tetangganya yang juga istri dari Pak RT, Ibu Naya. Ia langsung mengangkatnya, meskipun awalnya heran mengapa Ibu Naya meneleponnya di tengah malam.

“Chiko kamu pergi ke mana, kok belum pulang? Mamamu barusan aja masuk IGD, tadi katanya sesak napas dan sakit dada. Tadinya mau ibu anterin sendiri. Cuman karena hujan, akhirnya Ibu panggil juga pak RT buat nganterin.”

“Hahhh” Chiko tak sengaja melepaskan teriakan keras, tak percaya dengan telepon barusan. Teriakan tersebut cukup keras, membuat sebagian besar pengunjung warnet menoleh serempak ke arahnya.

“Bu Naya lagi ada di mana? Bentar yaa ini barusan selesai kerja kelompok dan mau OTW pulang”

“Sekarang ibu lagi jagain mamamu di RS Hidup Sejahtera. Pak RT lagi urus administrasi untuk asuransi. Mamamu dari dijemput pak RT tadi belum sadar-sadar, tapi untungnya beliau sempet nelpon ibu buat minta bantuan sebelum pingsan. Kesian, telat semenit aja kami dateng bisa-bisa fatal mamamu tadi karena nggak ada orang di rumah.”

“Ibu mu suspect serangan jantung mungkin karena kecapekan. Tapi sekarang mau dikonfirmasi dahulu oleh dokter jaga IGD. Kalau bisa cepat kesini sekarang, Bu Naya nggak kuat jagain sendirian kalo nggak ada kamu.”

Deg! Tiba-tiba jantung Chiko serasa akan copot sejenak. Keringat dingin dan sensasi panas perlahan mulai terlepas dari dalam tubuhnya. Perasaan bersalah akibat kejadian tadi siang mulai menghantuinya. Kakinya terasa dingin, tidak mampu ia gerakkan saking syoknya.

Rekan-rekannya tentu menyadari keanehan sikap Chiko. Mereka lalu menghentikan sejenak permainan lalu bertanya kepada Chiko.

“Ada apa Chik? What’s wrong?

“Ini, nyokapku tiba-tiba masuk rumah sakit IGD malem ini tadi abis dianterin tetangga.”

“Waduhh I Feel you ya broo.” Ucap salah satu rekannya. Tetapi ekspresinya datar saja, seolah tidak menampakkan rasa kasihan. Seolah-olah, ucapannya hanyalah formalitas belaka.

“Gini temen-temen, kalau nggak keberatan boleh nggak aku minta tolong kalian buat anterin aku sekarang ke RS Hidup Sejahtera. Aku tadi kesini naik ojek daring, nggak punya ongkos cukup buat pesen taksi dan sekarang lagi hujan deras. Duitku udah abis tadi buat nalangin rokok dan kopi buat kita tanding.”

Akan tetapi, tiada satu pun jawaban rekan-rekannya yang memuaskannya.

“Waduh keknya lom bisa nih bro. Kita wajib fokus dulu sekarang buat besok malem.”

“Yapp bro bukannya kami nggak mau anterin. Tapi yaa pikirin aja kalo sekarang nggak latihan, mau kapan lagi?”

“Sama bro, lagian juga katamu tadi mamamu dah sama tetangga kan. Dahlah amanlah tuh. Ini turnamennya dah besok. Mau kapan lagi latihan?”

“Bener bro, dah tanggung kita semua dah di sini nihh. Sayang kan kalo mau latihan lagi besok siang. Waktunya dah mepet kali dan kayak kita dua kali kerja aja. Hahaha.”

“Lagian kan kamu yang kemaren-kemaren dah ngajak kita kesini. Kok sekarang malah kamu yang pulang duluan hahaha!”

“Gini nih bro. Kalau kamu nggak mau ikut grand final besok, kita masih bisa langsung ajak tuh anak sekarang.” ujar salah seorang rekannya menunjuk seorang pemain warnet sendirian di seberang posisi mereka.

“Aku tau username dia tadi ialah lawan tim kita. Dia tadi mainnya GG banget lohh, cuman sayang timnya beban semua jadinya kalah. Kalau kamu ninggalin kami, toh kami bisa rekrut tuh anak sekarang daripada nganggur kan. Hahaa.” Sambungnya.

“Yodah bro, go on! Kalau kamu mau ada urusan pribadi ya silahkan, tapi jangan ajak-ajak kami yaa. Kami nggak mau repot-repot. Toh kamu tau kan kalo buat lolos ke grand final aja susah bener tadi. Masa’ cuman gara-gara kamu jadinya kita mau batalin ini. Nggak masuk akal kan haha.”

Wajah Chiko memerah dan matanya melotot, persis seperti yang ia lakukan tadi sore kepada ibunya. Ia sadar, bahwa tiada rekannya yang benar-benar peduli dengannya. Yang ia tahu, rekannya hanyalah sebatas pada permainan game online saja. Bahkan untuk mengunjukkan rasa empati dan simpati terhadap musibah yang dialami keluarganya saja, mereka nggak punya. Padahal pikirnya, ia sampai bela-belain buat nginep di warnet demi mereka hingga mentraktir rokok dan kopi. Namun lihatlah, perlakuan dan tingkah laku rekan-rekannya terhadap dirinya sekarang. Malahan, dirinya seakan dibuang secara halus akibat tidak mau lagi menemani mereka bermain game online.

Dengan menahan amarah, ia pun segera mematikan komputer, membawa tas dan perlahan menuju pintu keluar. Sesaat sebelum keluar, tiba-tiba operator warnet mengejar dan menahan tangannya.

“Dek, tadi abang dengar mamamu lagi sakit tetapi kamu nggak punya ongkos buat pulang ke rumah ya?”

Chiko hanya terdiam, bingung mau mengucap apa. Yang ia tahu, kini ia harus segera menuju ke rumah sakit walaupun tak tahu mau naik apa.

“Ini abang ada sedikit uang buat ongkos kamu. Tolong diterima yaa, abang kasihan melihat kamu dari tadi diperlakukan tidak baik oleh rekan-rekanmu. Semoga ibu mu cepat sembuh ya!”

Mendengar ucapan tersebut, Chiko merasa terenyuh. Wajahnya kali ini kembali memerah, namun bukan menahan amarah. Melainkan menahan tangis haru dan bahagia. Ternyata, masih ada (meskipun hanyalah orang asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya) yang peduli dengannya. Berbanding terbalik dengan para rekannya tadi. Padahal, ia telah mengenal dengan baik rekan-rekannya selama menjadi gamers selama dua tahun terakhir ini.

Ia langsung salam sujud kepada abang operator warnet dan berterima kasih dengannya. Langsunglah ia memesan taksi daring untuk menuju ke rumah sakit.

######

Ilustrasi Rumah Sakit
Sumber: Pexels / Pixabay

Sesampainya di IGD RS Hidup Sejahtera, ia bertemu dengan Pak RT yang sedang menatap layar ponsel. Pak RT sadar dengan kehadiran Chiko, lalu mengarahkannya masuk ke ruangan IGD tempat ranjang ibunya sedang dirawat.

Di samping ranjang, ia berdiri mematung memandangi ibunya yang masih terkapar dengan beberapa alat medis untuk menjaganya agar tetap stabil. Bersama dengan Bu Naya yang ternyata tertidur saking capeknya ia. Sesaat kemudian, tanpa ia sadari dilangkahkannya olehnya kedua kakinya mendekati ranjang pasien.

Perlahan seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadanya, memaksa minta untuk dikeluarkan. Rasa terisak-isak di kepalanya mulai bermunculan detik per detik yang untuk sementara ini bisa ia tahan. Ia ingin membuka mulut dan berkata, tetapi seolah-olah ada gembok tak terlihat yang mengunci mulutnya. Pertempuran hebat terjadi di pikirannya, dimana rasa bersalah dan penyeselan berhasil memenangkan peperangan atas rasa ego pribadi. Akibat pertempuran itu, sesaat kepalanya terasa sakit bagaikan ditempel ribuan sembilu.

Tetapi ia tidak pedulikan segala rasa itu. Di tengah serangan lara dan nestapa itu, ia hanya mampu berucap “Maafkan aku Ibu,”. Hingga akhirnya tanpa disadari ia terduduk dengan wajah dan tangannya menempel di pagar pembatas ranjang pasien. Ia pun akhirnya tertidur bersamaan dengan larut malam dan nyanyian alat-alat medis di ruang IGD.

********

Ilustrasi Ruangan gelap
Sumber: Goodfon / Jaime_silver00

Selang beberapa detik, tiba-tiba Chiko terbangun oleh suara sangat keras layaknya pintu yang dibanting. Dengan hati-hati ia melangkah keluar dari tirai dan memeriksa suasana sekitar. Ternyata semakin larut malam, suasana IGD semakin sepi dan hanya ada beberapa perawat yang terlihat sedang berjaga. Seolah tiada yang aneh, mereka bekerja seperti biasanya tanpa merasa terganggu atau terkejut akibat suara yang barusan saja terjadi.

“Ini aneh!” Gumam Chiko.

Perlahan ia menyusuri satu per satu area IGD. Hembusan AC dan suasana setelah hujan membuat dinginnya udara semakin menusuk. Saat itu, jam di dinding IGD terus berdetik menunjukkan waktu telah lewat memasuki lewat tengah malam. Hari telah berganti ke tanggal yang baru. Suaranya semakin kencang dan terdengar sangat jelas di telinga. Bahkan decakan cecak yang menempel di dinding juga sangat merdu, seolah ingin mengalahkan merdunya suara dentingan jam yang sudah lebih dulu menguasai.

Hingga di ujung lain ruangan IGD, matanya terpaku pada suatu pintu dobel yang terbuka lebar dengan kusen yang sedikit rusak. Seolah-olah pintu tersebut pernah dibanting sebelumnya.

“Hmm, ini pasti sumber suaranya. Tapi, siapa yang dengan lancangnya membanting pintu di tengah orang-orang sakit?”

Pintu itu membawanya ke suatu ruangan gelap tak bertuan. Tetapi, hawanya agak sedikit berbeda. Udara dingin lebih menusuk dibandingkan ruangan sebelumnya. Saat Chiko menjelajahi ruangan senyap itu denegan perlahan, serasa ada banyak pasangan mata yang sedang mengawasinya.

Tetiba, ada suara yang datangnya entah darimana terdengar oleh telinganya. Tetapi satu hal yang pasti, suara tersebut seolah-olah berasal dari setiap bagian di dalam ruangan itu. Dan suara tersebut seolah ingin mengajaknya berdialog:

“Bagaimana perasaanmu, wahai anak muda? Setelah kau sia-siakan keluargamu demi orang asing, kini malahan engkau yang disia-siakan. Bersenang-senanglah untuk sementara ini.”

“Tidak, tidak, mana ada aku senang. Aku sangat menyesal. Ternyata aku lebih memilih kesenangan dibanding diriku. Bahkan keluargaku sendiri.”

“Saat ini penyesalanmu tiada berguna anak muda. Kamu telah menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan. Aku tiada tahu apa yang ada di pikiranmu sekarang.”

“Tapi sepertinya, daripada ia terus disia-siakan. Lebih baik aku ajak dia di tempat di mana ia dihargai. Ia akan kubawa dan tidak akan aku kembalikan lagi kepada penyia-nyia sepertimu.”

Perlahan, ia melihat sekelebat bayangan melewatinya dengan cepat mengarah ke pintu penghubung ke IGD. Bayangan tersebut mirip seorang berjubah hitam dengan membawa suatu tongkat panjang yang tajam.

Sesaat kemudian, ia baru sadar akan suatu hal. Ia sadar bahwa bayangan tersebut mengarah ke ranjang tempat ibunya dirawat.

Refleks ia berteriak, “Ibu, ibuu.... Tidak...”. Ia mengejar bayangan tersebut, tetapi kakinya mematung seolah-olah tertempel erat dengan lantai ruangan tersebut.

Semakin ia berusaha, semakin kuat kakinya tertempel di lantai. Segala usahanya, mulai dari melompat, menendang, hingga mendorong diri sendiri hanyalah sia-sia belaka. Yang hanya bisa ia lakukan kini hanyalah berteriak dengan penuh penyesalan. Seolah-olah, ia sudah tahu bahwa ini akhir dari hidup seseorang yang sangat mencintainya.

Ia hanya bisa berteriak “Ibu.. Ibu.. Maafkan akuu.... Jangan pergii...”

********

“Chiko... Chiko, kamu kenapa. Ayo bangun, bangun!”

“Chikoo... Bangunn...”

Chiko kemudian terbangun dari tengkurepnya tepat di atas keyboard PC warnet. Tanpa ia sadari, air mata telah banyak keluar dan dadanya terasa sesak akibat terisak-isak.

“Chiko, kamu tadi mengigau pas ketiduran di depan PC. Maaf kami tadi semua sedang minum kopi di luar. Pas kami balik lagi kesini, kamu udah mengigau-ngigau teriak-teriak nggak jelas di sini.”

Chiko diliputi rasa kebingungan. Seolah-olah bertanya, apa yang baru saja terjadi barusan. Kenapa aku tiba-tiba masih di sini. Ia menatap layar HP nya, yang menginformasikannya bahwa setengah jam lagi hari dan tanggal akan segera berganti menurut kalender Masehi.

Selain itu, terdapat setidaknya tujuh notifikasi panggilan tak terjawab dari Ibunya. Ditambah satu notifikasi pesan WhatsApp yang tertulis

“Chiko, kamu dimana? Alhamdulillah Ibu barusan sekali dapet orderan daging ayam yang cukup banyak besok dari seorang pengusaha catering. Kalo sudah selesai tugasnya, cepatlah pulang dan jangan menginap nak. Biar besok bisa bantuin ibu sekalian ibu ajarin cara jualan.”

Tanpa ragu lagi, Chiko bergegas mengeluarkan aplikasi game online nya dan melakukan logout dari PC warnet tersebut meskipun paket begadangnya masih berjalan. Ia tidak terlalu peduli dengan itu.

“Bre, Frens, aku pamit dulu yaa. Soalnya ibuku mau minta tolong bantuin nyiapin dagangan buat besok. Dapet orderan beluber broo, hahaha!”

“Wahh turut senang Chiko, hati-hati di jalan yaa. Semangat juga buat kamu.”

“Ohiya ngomong-ngomong, maaf ya bro belum bisa nemenin latihan malem nih buat besok.”

“Ohh gapapa bro, santai. Di luar tadi kita barusan ketemu ketua panitia turnamennya, acara grand final besok ditunda dua minggu kedepan karena ada masalah teknis. Jadi masih lapang sekali broo persiapan kita!”

“Kita juga paling sejam-dua jam lagi pulang nih broo. Dah bosen soalnya haha.”

“Sipp bro makasih ya pengertiannya, aku pamit dulu yaa...”

Dengan langkah perlahan ia menuju pintu keluar dari gedung warnet itu. Tepat sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi ke belakang seperti menanti seseorang. Tiada yang dilihat ataupun ditemuinya melainkan hanya para pemain yang sibuk dengan games masing-masing dan seorang abang operator warnet yang juga sibuk mengetik sesuatu di komputernya.

Kejadian singkat malam itu sungguh mentransformasi hidup dan pemikirannya secara total. Ia kini jadi optimis dalam mengambil setiap kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Ia bertekad untuk tidak menyia-nyiakan segala hal yang telah ia miliki saat ini.

 Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI


Komentar

  1. cerpen yang menginspirasi..TQ for share it

    BalasHapus
  2. Bagus bangeet ceritanya, berasa ada yang naruh bawang di sini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasihh, bisa langsung dipake buat masak dong

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Miliki Dana Darurat, Untuk Hidup Anti Rungkat!

AC, Si Pendingin Ruangan di Tengah Kepanasan ternyata Dipelopori Seorang Dokter!