Mengapa Kita Mandi Keringat?

 

Gambar 1. Berkeringat
Sumber : Adobe Stock

Pertengahan tahun ini, seluruh Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Musim kemarau identik dengan cuaca panas, dimana matahari akan lebih sering bersinar ke bumi.

Cuaca dan suhu panas ini tentunya membuat kita bisa “mandi keringat” terutama jika sering kontak langsung dengan sinar matahari ataupun berada di lingkungan bertemperatur tinggi dan gerah.

Namun, tahukah kamu kalau fenomena “mandi keringat” ini sangat berhubungan dengan kelembapan udara?

Bagaimana Kelembapan Udara di Indonesia?

Gambar 2. Indonesia sebagai negara tropis memiliki kelembapan udara yang tinggi
Sumber: Wikimedia Commons

Kelembapan udara menyatakan konsentrasi uap air dalam udara [1]. Semakin banyak uap air di udara, maka akan semakin tinggi pula kelembapannya.

Indonesia sebagai negara beriklim tropis tentunya memiliki kelembapan udara yang cukup tinggi. Minimal kelembapan udaranya ialah 60% dengan suhu antara 20oC hingga 40oC [2].

Kelembapan ini akan bertambah drastis terlebih saat hujan. Bisa mencapai 80 hingga 90%-an. Kalau kamu penasaran, kamu bisa melihat sendiri berapa kelembapan udara di daerahmu sekarang. Yaitu melalui widget yang udah tersedia di handphone­-mu seperti ini!

Mengapa Kita Bisa Berkeringat?

Sebenarnya, keringat ialah mekanisme asli tubuh manusia untuk mendinginkan dirinya [3]. Air adalah penyerap panas yang terbaik karena kapasitasnya cukup besar untuk menyimpan panas. Terlebih dengan kandungan mineral dan garam di keringat, bisa menambah kapasitas panas dari keringat.

Ketika suhu tubuh meningkat, keringat akan keluar dan menyerap panas berlebih tersebut. Setelah itu, keringat akan menguap, ‘hilang’ membaur dengan udara sambil membawa panas-panas berlebih dari tubuh kita itu.

Dengan kata lain, keringat dapat mencegah tubuh overheat. Kalau sampai overheat tentu sangat berbahaya. Handphone yang overheat akibat dicas sambil dimainkan game online pun dapat beresiko terbakar dan parahnya meledak. Cukup sering kita sudah mendengar berita-berita semacam itu.

Gambar 3. Kasus seseorang pengendara motor meninggal dunia kecelakaan akibat ponsel meledak di dasbor motor
Sumber: Kompas TV

Apa Hubungannya dengan Kelembapan Udara?

Nah, yuk kita balik lagi ke definisi kelembapan udara tadi. Lalu coba kaitkan dengan kondisi iklim yang ada di Indonesia.

Di Indonesia dengan kelembapan udara yang cukup tinggi, maka jumlah air di udara semakin banyak. Banyaknya jumlah air ini membuat udara menjadi ‘jenuh’ dengan air, sehingga sulit untuk menerima tambahan air.

Dalam hal ini, keringat ialah berupa air. Dengan kondisi udara yang cukup jenuh membuat keringat lebih sulit untuk menguap dan membaur dengan udara. Hal inilah yang menyebabkan keringat ‘terjebak’ lama di permukaan tubuh, karena penguapannya lebih lambat.

Di sisi lain, air merupakan penyerap panas yang terbaik. Malahan, keringat yang masih berupa cairan ini akan menyerap panas lebih banyak lagi dari udara. Sehingga, tak jarang dengan kondisi ini malah membuat kita merasa lebih kepanasan (istilahnya gerah).

Dengan kata lain, sistem pendinginan tubuh tidak bisa berjalan dengan optimal. Malahan pada kondisi yang lebih ekstrim, tubuh akan “memasak” dirinya sendiri dengan keringat. Hal inilah yang disebut dengan fenomena heat stroke [4].

Nih buktinya, kamu bisa melihat perbedaannya dari penelitian berikut. Dimana beberapa pelari pria diuji untuk melakukan lari konstan selama 60 menit pada 5 kondisi kelembapan udara yang berbeda. Hasilnya, pada kelembapan terendah, terjadi peningkatan suhu tubuh yang paling rendah [5].

Gambar 4. Perubahan temperatur pada kulit dan tubuh saat berolahraga, dengan variasi kelembapan udara rendah ke tinggi. Lihat bahwa temperatur kulit menurun pada kelembapan udara terendah.
Sumber: Muhamed et al. (2016) [5]

Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem pendinginan tubuh berjalan dengan optimal, dengan mencegah kenaikan suhu tubuh secara drastis.

Kalo Kelembapannya Rendah?

Gambar 5. Daerah beriklim gurun memiliki kelembapan udara yang rendah
Sumber: naturfreund_pics / pixabay.com

Beda ceritanya tuh. Pada kelembapan rendah, kandungan uap air di udara hanyalah sedikit (nggak sampai membuat udara jenuh). Sehingga, udara nggak sulit-sulit aman buat nerima air yang baru [4].

Cairan keringat nggak bakalan lama-lama stay di permukaan tubuh, karena keringat lebih mudah menguap dan membaur dengan udara. Sambil menguap, ia juga membawa serta panas berlebih dari tubuh.

Penguapan yang cepat inilah yang membuat tubuh nggak sempat untuk “mandi keringat”. Sehingga pada dasarnya, bukan tubuh yang mengeluarkan banyak keringat. Tetapi, proses penguapannya-lah yang lebih lambat pada kelembapan tinggi [4].

Kalo Kepanasan, Jangan Sungkan Buat Ngadem!

Jadi, kalau kita merasa kepanasan janganlah sungkan untuk ngadem sejenak terlebih dahulu. Entah itu mengipas-ngipas kepala, berteduh di bawah pohon, ataupun di ruangan ber-AC.

Udara yang lebih sejuk bisa membantu menyerap panas berlebih dari permukaan tubuh. Angin yang berhembus pun bisa membantu keringat dalam membaur dengan udara karena saling berkontak langsung.

Tentunya ini juga membantu kerja sistem pendinginan tubuh kita. Dan jangan lupa agar tetap terhidrasi, minumlah setiap kali merasa haus. Ini juga akan memberikan tubuh persediaan air yang cukup untuk proses pendinginan.

Dalam berpakaian pun, secara tidak sadar kita sudah beradaptasi dengan lingkungan dan kelembapan udara begini!

Gambar 6. Katun, sering dimanfaatkan sebagai bahan pakaian di Indonesia
Sumber: IFPRI / flickr.com

Berdasarkan suatu penelitian, bahan katun terbukti sangat optimal dalam menyerap keringat [6]. Sehingga, hal ini dapat membantu menurunkan suhu permukaan tubuh lebih cepat. Namun, pemakainya akan merasakan “banjir keringat” karena keringat banyak yang menumpuk di kain.

Bahan lain yang cukup optimal untuk lingkungan kita ialah poliester. Poliester lebih sulit menyerap keringat, namun mampu menguapkan keringat lebih baik. Oleh karena itu, poliester sering dijadikan bahan untuk pakaian olahraga [6].

REFERENSI

[1] Gunawan, S., et al. (2022). Effect of Air Temperature, Air Humidity, and Air Pressure on Rainfall Based on Measurement Result in Kototabang. Pillar of Physics. 15(2): 96-104.

[2] Sampebulu, V. (2012). Influence of High Temperatures on the Workability of Fresh Ready-Mixed Concrete. Journal of Engineering and Technological Sciences, 44(1): 21-32.

[3] Glaser, D.E, dan Naumann, M. (2009). Botulinum Neurotoxin in the Management of Hyperhidrosis and Other Hypersecretory Disorders, dari buku Botulinum Toxin. Elsevier: Amsterdam.

[4] Dougherty, E. (2011). Why do we sweat more in high humidity?, diakses pada 29 Juni 2024, dari https://engineering.mit.edu/engage/ask-an-engineer/why-do-we-sweat-more-in-high-humidity/.

[5] Muhamed, A., et al. (2016). The effects of a systematic increase in relative humidity on thermoregulatory and circulatory responses during prolonged running exercise in heat. Temperature, 3(3): 455-464.

[6] Jannah, R., et al. (2019). Pengaruh Jenis Bahan Pakaian Terhadap Respon Psikologi Manusia pada Saat Berolahraga di Lingkungan Panas. Jurnal Unitek, 12(1): 17-29.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Perpisahan Memaksamu untuk Sadar

Miliki Dana Darurat, Untuk Hidup Anti Rungkat!

AC, Si Pendingin Ruangan di Tengah Kepanasan ternyata Dipelopori Seorang Dokter!