Terrestrial Carbon Capture and Sequestration, Melimpah di Indonesia bahkan Bisa Ada di Rumahmu!

    

Gambar 1. Ilustrasi opsi Carbon Sequestration
Sumber: 
agrotechnomarket.com

Di artikel sebelumnya kita telah membahas tentang apa itu Carbon Capture and Storage (CCS) dan gimana prinsip operasionalnya secara overall. Nah sekarang, kita akan membahas salah satu proses sequestration sederhana atau “pengasingan” dari karbon yang telah ditangkap tadi.

Biar kamu lebih bisa mengikuti artikel ini sampe abis, disarankan kamu memahami terlebih dahulu apa itu teknologi CCS dan prinsip operasionalnya disini!

Mengingat Kembali tentang CCS

Gambar 2. Mekanisme Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS)
Sumber: Global CCS Institute

Carbon capture and sequestration ialah menyimpan dan “mengasingkan” karbon dalam bentuk CO2 yang telah “ditangkap” sebelum sempat diemisikan ke atmosfer. Karbon kemudian disimpan di suatu tempat yang “aman” dan dapat menahan CO2 dalam jangka waktu yang sangat lama[1].

Secara garis besar, CCS merupakan teknologi yang membantu dalam usaha mitigasi perubahan iklim. Cara kerjanya yaitu menangkap CO2 yang dihasilkan industry, lalu “menyimpannya” di tempat yang aman agar tidak lepas ke atmosfer [2].

Nah, carbon capture and sequestration masih sangat berkaitan dengan CCS. Dimana hal ini berkaitan dengan “mengasingkan” CO2 dari atmosfer dengan jangka waktu yang sangat lama[3]. Sementara, istilah storage lebih membahas terkait makna penyimpanan CO2 secara umum.

Ternyata, ada satu teknologi carbon capture and sequestration yang telah “tersedia” sangat banyak di Indonesia. Bahkan, mungkin kamu udah miliki di rumah tanpa kamu sadari! Teknologi apakah itu?

Terrestrial Sequestration: Penyimpanan Alamiah CO2 "Di Atas Tanah"

Gambar 3. Siklus Karbon yang Terjadi di Ekosistem
Sumber: DeviantArt

Terrestrial ialah metode “pengasingan” pada carbon capture and sequestration yang memanfaatkan organisme dan bahan-bahan alami yang berada “di atas tanah” dan mampu menahan CO2 lebih lama.

Contoh dari bahan alami tersebut ialah biomassa (pohon dan rerumputan), dan lahan (hutan dan rawa). Intinya, metode ini benar-benar memanfaatkan alam dan lingkungan untuk menyimpan karbon secara alami [4].

Pada dasarnya, setiap makhluk hidup ataupun material organic di dunia ini mampu menyimpan karbon. Hal ini disebut dengan biological carbon stock. Dimana biological carbon stock hanyalah satu bagian dari proses siklus karbon secara alamiah yang berjalan kontinyu [5].

Siklus pertamanya disebut asimilasi, yaitu proses penyerapan karbon dari atmosfer. Contohnya melalui proses fotosintesis tanaman. Sementara siklus lainnya ialah respirasi, yaitu pelepasan karbon menuju atmosfer. Contohnya seperti kita, manusia yang bernapas akan menghembuskan CO2 keluar ke alam. 

Memanfaatkan Hal Sederhana: Fotosintesis Tanaman

Gambar 4. Fotosintesis ialah inti dari penerapan terrestrial sequestration
Sumber: 
Wikimedia Commons

Salah satu kasus nyata paling sederhana dari terrestrial sequestration ialah fotosintesis. Tanaman akan selalu berfotosintesis menyerap CO2. CO2 yang diserap akan menjadi “nutrisi” bagi tanaman dan menjadi bagian dari tanaman itu sendiri, seperti daun, batang, dan akar

Selama hidupnya, CO2 akan terus tersimpan pada tubuh tanaman sembari menyerap CO2 yang lainnya untuk menyambung hidupnya. Dimana selama itu pasti akan tumbuh daun yang baru, batang dan ranting yang bertambah panjang, buah-buahan dan lainnya [6].

Hingga jika saatnya tanaman mati, artinya tidak ada lagi karbon yang akan diserap. Sebaliknya, saat mati seluruh bagian tanaman akan mengalami proses dekomposisi. Dekomposisi ini akan melepaskan karbon dan komponen organik lainnya ke atmosfer [6].

Karbon yang terlepas saat dekomposisi inilah, yang akan diserap lagi oleh tanaman generasi selanjutnya untuk menyambung hidupnya. Sehingga, proses ini akan terus berjalan tanpa henti layaknya siklus.

Keuntungan utamanya ialah jumlah karbon yang diserap dan “diasingkan” itu sangat banyak, untuk periode waktu yang sangat lama juga [6].

Pelepasan karbon oleh tanaman tidak hanya melalui dekomposisi saja. Aktivitas respirasi mikroba yang berkaitan dengan tanaman juga dapat melepaskan karbon ke atmosfer [5].

Material plant litter seperti daun jatuh, ranting, dll., juga bisa dikatakan ikut terlibat dalam carbon sequestration, tetapi seringkali diabaikan karena jumlahnya sangat kecil dan kurang mewakili [6].

Luasnya Area "Hijau" di Indonesia

Gambar 5. Area "hijau" Indonesia, sebagai "alat" untuk menerapkan terrestrial carbon capture and sequestration secara alami
Sumber: Wikipedia

Indonesia sendiri yang memiliki iklim tropis, sehingga memiliki area “hijau” yang sangat luas. Tanpa kita sadari, ternyata di Indonesia sudah punya banyak teknologi carbon capture and sequestration. 

Menurut data dari Statista, pada tahun 2020 Indonesia memiliki terrestrial conservation area seluas 27,05 juta hektar dengan +60%-nya berupa taman nasional. Sisanya ialah berupa suaka margasatwa, cagar alam, taman wisata alam, suaka alam, Tahura, dan lainnya [7]. 

Sekaligus membuktikan bahwa terdapat carbon capture storage Indonesia secara alami dengan jumlah yang sangat melimpah!

Lidah Mertua: Contoh Tanaman Penyerap Karbon!

Gambar 6. Tanaman Lidah Mertua atau Sansevieria
Sumber: 
Wikimedia Commons

Sering melihat tanaman ini di dalam ruangan? Entah itu di sekolah, kantor, atau bahkan rumahmu? Yaa, itu adalah salah satu tanaman hias yang bernama Lidah Mertua (Sansevieria). Ternyata, tanaman yang sering kita temui ini sangat berpotensi untuk menyerap karbon lohh!

Sehingga, sebenarnya tanpa kita sadari, kita telah sering bertemu dengan alat carbon capture and sequestration tanpa kita sadari. Tanpa perlu mencari teknologi yang mahal dan canggih.

Tanaman Lidah Mertua tidak hanya berfungsi sebagai tanaman hias, tetapi juga dapat menyerap karbon di udara. Itulah mengapa tanaman ini sering ditempatkan di dalam ruangan indoor, karena dapat membantu menyegarkan udara ruang [8].

Diketahui bahwa tanaman Lidah Mertua mampu menyerap CO2 hingga 4.71 ppm/m3/detik, menurut suatu penelitian dari Naresuan University, Thailand. Dan terbukti bahwa tanaman ini mampu meningkatkan kualitas udara, khususnya di ruangan indoor dan rumah [9].

KESIMPULAN

Ternyata, penerapan carbon capture technology tidak harus tentang teknologi yang canggih dan rumit. Di Indonesia pun, sebenarnya tersedia banyak sekali teknologi carbon capture and sequestration dalam bentuk alami!

Tanaman dan pohon dapat menjadi alat carbon capture and sequestration alamiah dengan kapasitas serap besar dan umur yang panjang. Terlebih Indonesia sebagai negara tropis yang memiliki area “hijau” yang cukup luas!

Bahkan di rumah pun, tanpa kita sadari telah kita miliki alat carbon capture technology berupa tanaman. Seperti tanaman Lidah Mertua contohnya, ternyata menurut penelitian merupakan tanaman hias yang terbukti ampuh menyerap karbon dan bantu menyegarkan ruangan.

Gimana, makin bangga kan dengan Indonesia yang memiliki teknologi alamiah carbon capture storage sangat melimpah? Mari kita jaga sama-sama.

Selain itu, ternyata kita juga bisa memiliki alat carbon capture and sequestration kecil-kecilan dengan mudah dan bisa kita lestarikan di halaman rumah kita!

REFERENSI

[1] Herzog, H., Golomb, D. (2004). Carbon Capture and Storage from Fossil Fuel Use, dari buku Encyclopedia of Energy. MIT: Massachusetts.

[2] Bandilla, K.W. (2020). Carbon Capture and Storage, dari buku Future Energy: Improved, Sustainable and Cleand Options for Our Planet. Elsevier: Amsterdam.

[3] Styring, P., McCord, S., dan Rackley, S. (2023).  Carbon dioxide utilization, dari buku Negative Emissions Technologies for Climate Change Mitigation. Elsevier: Amsterdam.

[4] Kempka, D., dan Browne, D. (2005). Terrestial Carbon Offsets for Industry Portfolios, dari buku Green Trading Markets: Developing the Second Wave. Elsevier: Singapore.

[5] NASEM. (2019). Negative Emissions Technologies and Reliable Sequestration: A Research Agenda. National Academies Press: Washington DC.

[6] NICC. (n.a). Terrestrial Sequestration, diakses pada 7 Januari 2024, dari https://www.indiancarbon.org/sbti-sdgs/terrestrial-sequestration/.

[7] Statista. (2022). Size of terrestrial conservation areas in Indonesia in 2020, by type, diakses pada 7 Januari 2024, dari https://www.statista.com/statistics/1314211/indonesia-terrestrial-conservation-areas-size-by-type/.

[8] Setiawan, S.R.D. (2022). Manfaat Lidah Mertua di Kamar, Bersihkan Udara dan Bikin Tidur Nyenyak, diakses pada 7 Januari 2024, dari https://www.kompas.com/homey/read/2022/09/05/071400776/manfaat-lidah-mertua-di-kamar-bersihkan-udara-dan-bikin-tidur-nyenyak.

[9] Thonsanit, P., et al. (2015). Efficiency of Snake Plants Absorb Carbon Dioxide in Offices. Proceedings of International Conference on Chemical, Mettallurgy, and Material Science Engineering, Pattaya: 10-11 Agustus 2015. Hal. 16-20.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Sampai Perpisahan Memaksamu untuk Sadar

Miliki Dana Darurat, Untuk Hidup Anti Rungkat!

AC, Si Pendingin Ruangan di Tengah Kepanasan ternyata Dipelopori Seorang Dokter!